Permasalahan Modal Bagi Petani

v Permasalahan Modal bagi Petani di Indonesia
1.      Petani Kekurangan Modal
Ciri khas dari kehidupan petani adalah perbedaan pola penerimaan, pendapatan, dan pengeluarannya. Hasil produksi hanya diterima petani setiap musim sedangkan pengeluaran harus diadakan setiap hari, setiap minggu atau kadang-kadang dalam waktu yang sangat mendesak seperti kematian, pesta perkawinan dan selamatan lain. Petani kaya dapat menyimpan hasil panen untuk kemudian dijual sedikit demi sedikit pada waktu diperlukan sedangkan petani gurem (tidak berlahan dan penguasaan lahan sempit) masih kesulitan untuk menyimpan hasil sehingga petani kekurangan modal.
Sekitar 70 persen petani Indonesia terutama petani-petani gurem diklasifikasikan sebagai masayarakat miskin berpendapatan rendah. Keberadaan kredit benar-benar dibutuhkan oleh petani untuk tujuan produksi, pengeluaran hidup sehari-hari sebelum hasil panen terjual dan untuk pertemuan sosial lainnya. Dikarenakan penguasaan lahan tergolong sempit, upah yang mahal dan kesempatan kerja terbatas di luar musim tanam, sebagian besar petani tidak dapat memenuhi biaya hidupnya dari satu musim ke musim lainnya tanpa pinjaman. Kredit sudah menjadi bagian hidup dan ekonomi usahatani, bila kredit tidak tersedia tingkat produksi dan pendapatan usahatani akan turun drastis karena tidak ada modal untuk membeli pupuk, bibit, air, sehingga tanaman tidak tumbuh optimal.
Masalah utama dalam penyediaan kredit ke petani gurem adalah adanya jurang pemisah antara penyaluran dengan penerimaan kredit. Banyak lembaga permodalan dengan berbagai skim kreditnya ditawarkan ke petani, tetapi pada kenytaannya hanya dapat diakses oleh kelompok masyarakat tertentu sedangkan petani kecil masih tetap kesulitan. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan hingga akhir 2012, total kredit yang disalurkan perbankan mencapai Rp 2.725 triliun. Dari total kredit tersebut yang disalurkan ke sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) hanya sekitar 19,31 persen atau sekitar Rp 526,4 triliun. Dari Rp 526,4 triliun kredit untuk UMKM ini yang paling banyak disalurkan ke sektor perdagangan sebesar 47,2 persen, sedangkan ke sektor pertanian hanya 7,73 persen atau sebesar Rp 40,70 triliun.”Untuk sektor petanian umumnya lari ke perkebunan kelapa sawit dan tebu. Sulitnya petani mendapatkan akses modal menyebabkan keterpurukan sektor pertanian tak ada habisnya.
2.      Sistem Perbankan yang Kurang peduli kepada Petani
 Profesi petani kurang mendapat kepercayaan dari bank untuk mendapatkan suntikan dana. Hal ini dikarenakan penghasilan petani dinilai terlalu kecil dan tak punya agunan memadai untuk jaminan pinjaman. Berbagai kredit program yang dikembangkan untuk usaha pertanian seperti Kredit Ketahanan Pangan-Energi (KKP-E), Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP), Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) perkembangannya masih jauh dari harapan.Meskipun pemerintah telah berkali-kali menyatakan pinjaman KUR bisa tidak pakai agunan, tetapi dalam pelaksanaannya, bank tidak akan memberikan kredit kepada petani kalau tidak ada agunan. Pihak perbankan menyakini bahwa sektor pertanian di Indonesia yang belum dikelola dengan skala industri menjadi salah satu kekhawatiran perbankan dalam memberikan kredit ke sektor pertanian. Sebab, resiko gagal panen dan biaya produksi semakin tinggi. Kerumitan masalah administrasi dan agunan menjadi salah satu kendala bagi petani untuk mengajukan kredit ke perbankan. Selain itu petani juga malas untuk berurusan dengan sistem administrasi yang terlihat rumit sehingga petani lebih memilih untuk mendapat pinjaman modal dari rentenir dengan bunga yang tinggi serta tanpa jaminan.
3.      Belum Memiliki Asuransi Pertanian
Dunia asuransi dewasa ini sudah begitu berkembang, namun pada saat yang sama asuransi masih sedikit sekali menyentuh dunia pertanian terutama di negara kita. Padahal seperti yang kita ketahui, sektor pertanian secara umum adalah leading sector di Indonesia. Tercatat lebih dari 50% penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya di sektor ini, bukan hanya menyediakan bahan pangan saja tetapi sektor pertanian juga menyediakan lapangan kerja yang cukup besar. Sektor pertanian juga dikenal telah menyediakan 48 juta lapangan kerja, menyediakan bahan baku industri serta penyedia bahan baku ekspor baik mentah maupun olahan.
Berusaha di bidang pertanian secara umum mempunyai potensi yang tinggi, namun risikonya juga sangat besar. Usaha pertanian memiliki karakteristik sebagai usaha yang penuh risiko terhadap dinamika alam, bersifat biologis dan musiman, rentan terhadap serangan hama dan penyakit, yang kesemuanya secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri dapat menyebabkan kerugian. Oleh karena sudah selayaknya usaha pertanian juga mendapat perhatian khusus untuk memperkecil risiko, dalam hal ini dengan manajemen risiko dalam bentuk asuransi, yang kita sebut dengan asuransi pertanian.
Asuransi pertanian adalah mekanisme finansial yang akan membantu mengelola kerugianpertanian akibat bencana alam atau iklim yang tidak mendukung diluar kemampuan petani untuk mengendalikanya. Manajemen risiko dibidang pertanian adalah masalah yang sangat penting dalam investasi dan keputusan finansial petani. Program asuransi sangat bergantung pada rasio cost/benefit bagi petani, pengusaha pertanian dan penyedia jasa asuransi dan yang tidak kalah pentingnya adalah asuransi yang diberikan didasarkan pada pertimbangan apakah biaya asuransi tersebut cukup efektif dalam menanggung sebuah risiko.
Secara umum tujuan asuransi untuk sektor pertanian adalah untuk memberikan proteksi atau penggantian terhadap risiko gagal panen akibat serangan hama, penyakit, ataupun bencana alam. Asuransi pertanian ini diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi para pihak baik itu petani itu sendiri baik menyangkut tingkat produksi bahkan sampai pada perbaikan situasi ekonomi maupun perusahaan penyedia jasa asuransi.
Sebagai salah satu bentuk usaha yang memiliki resiko pertanian, sudah selayaknya diperlukan suatu bentuk asuransi usaha yang tepat bagi pertanian. Resiko-resiko pertanian yang biasa melanda usaha ini adalah yang berakibat kepada gagal panen yang berasal dari kejadian peubahan iklim yang ekstrim, serangan hama atau rendahnya penggunaan teknologi pertanian. Jika hal ini tidak dapat diantisipasi dengan tepat, maka hal ini dapat melemahkan semangat petani untuk tetap melaksanakan kegiatan pertanian.
Petani dalam kemampuannya beradaptasi dengan permasalahan ini dan dalam mengembangkan usahanya selalu terkendala oleh modal, penguasaan teknologi dan akses pasar. Pendekatan konvensional dengan menerapkan salah satu atau kombinasi strategi produksi, pemasaran, finansial, dan pemanfaatan kredit informal diperkirakan kurang efektif. Oleh karena itu diperlukan sistem proteksi melalui pengembangan asuransi pertanian
Asuransi pertanian ini dilakukan dalam upaya untuk melindungi petani dari kegagalan panen dan saat terjadi over supply, dalam rangka melindungi simpanan masyarakat di bank. Banyak petani telah mengetahui program asuransi, namun hampir tidak ada petani yang membeli polis asuransi dengan alasan:
a.                   Tidak mampu membayar premi.
b.                   Tidak percaya pada perusahaan asuransi.
c.                   Repot mengurusnya.
4.      Sistem Ijon
Menurut Faried Wijaya (1991), ijon, merupakan bentuk perkreditan informal yang berkembang di pedesaan. Transaksi ijon tidak seragam dan bervariasi, tetapi secara umum ijon adalah bentuk kredit uang yang dibayar kembali dengan hasil panenan. Ini merupakan “penggadaian” tanaman yang masih hijau, artinya belum siap waktunya untuk dipetik, dipanen atau dituai. Tingkat bunga kredit jika diperhitungkan pada waktu pengembalian akan sangat tinggi, antara 10 sampai dengan 40 persen. Umumnya pemberi kredit merangkap pedagang hasil panen yang menjadi pengembalian hutang.
Praktek ijon yang dilakukan pedagang/tengkulak hasil pertanian sudah mengakar dan menjadi tradisi perdagangan hasil pertanian di pedesaan. Praktek ijon pada komoditas  pertanian melibatkan banyak aktor dalam mata rantai yang berperan sebagai distributor pinjaman sekaligus pengepul hasil pertanian dengan sistem multilevel. Tengkulak biasanya terbagi menjadi beberapa level yang mencerminkan tingkat kekuatan modalnya. Tengkulak kabupaten memiliki “bawahan” beberapa tengkulak kecamatan. Tengkulak kecamatan memiliki beberapa “bawahan” tengkulak desa, begitu seterusnya sampai level dusun. Modal yang dipinjamkan sampai dengan petani merupakan milik pemodal besar di tingkat kabupaten, sementara tengkulak kecamatan, desa dan dusun hanya mendistribusikan.
Petani meminjam uang dan mengijonkan tanamannya untuk kebutuhan konsumtif dan jangka pendek. Budaya konsumerisme yang merebak sampai pelosok pedesaan juga menjadi faktor pendorong maraknya sistem ijon. Dalam beberapa kasus, petani meminjam karena ada kebutuhan mendesak, dan tengkulak yang meminjamkan uang anggap sebagai penolong. Di daerah pedesaan, hubungan petani dan tengkulak pengijon memang sangat pribadi dan patronase. Antara petani dan tengkulak merasa sebagai satu keluarga yang saling tolong menolong, dan saling menjaga kepercayaan. Hal ini yang jeli dimanfaatkan pemodal besar dari luar daerah sehingga eksploitasi yang dilakukan tersamar dengan hubungan kekeluargaan dan saling tolong menolong. Petani sendiri merasa dirugikan tetapi juga diuntungkan. Mereka merasa rugi karena seharusnya dia bisa mendapatkan hasil lebih jika tanamannya tidak diijonkan, namun mereka merasa untung juga dengan adanya pengijon, karena jika ada kebutuhan mendesak, mereka akan cepat mendapatkan uang.
Prosedur pinjaman dengan sistem ijon memang mudah, luwes dan informal, tidak terikat waktu dan tempat. Hal ini yang menjadi daya tarik petani untuk memperoleh pinjaman dengan cepat dan praktis.  Alasan menggunakan sistem ijon bukan sekedar derasnya modal yang ingin mengeksploitasi petani, namun juga karena persoalan budaya dan pola pikir masyarakat yang tidak berkembang
Tengkulak sebagai kreditor dan pembeli hasil produk pertanian mendapatkan keuntungan berlipat. Keuntungan tersebut didapat dari bunga dari pinjaman yang diberikan, dan keuntungan dari selisih harga beli di petani dengan harga jual di pasar konsumen. Tengkulak leluasa membeli hasil panen petani dengan harga rendah karena posisi tawar yang sangat kuat di hadapan petani. Walaupun harga akan bergerak sesuai  permintaan dan penawaran barang, selisih keuntungan akan lebih banyak dinikmati tengkulak atau pengepul. Sebaliknya, petani akan dirugikan karena terbebani hutang dengan bunga pinjaman tinggi, serta dirugikan untuk mendapat kesempatan memperoleh harga yang layak bagi hasil panennya.
v Solusi terhadap Permasalahan Modal bagi Petani di indonesia
1.      Kesadaran Petani yang Berorientasi ke Depan
Hal terpenting dalam pengurangan permasalahan modal ialah kesadaran dari petani sendiri untuk maju dan berkembang. Petani harus membangkitkan kesadarannya dan mulai merubah perilakunya. Hidup berhemat, menabung, memanfatkan fasilitas kredit yang diberikan pemerintah atau lembaga keuangan mikro lain, dan membentuk wadah bersama petani lain untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi produksi dan konsumsi. Petani harus pandai memilih pinjaman mana yang paling banyak memberikan keuntungan dengan bunga yang paling rendah. Petani tidak mesti untuk meminjam modal pada tengkulak.
 Pinjaman modal yang diberikan lembaga keuangan baik dari bank maupun non-bank harus digunakan sesuai kebutuhan dalam proses produksi maupun distribusi dari usaha yang dijalankannya. Sehingga petani tidak menggunakan pinjaman modal yang diperoleh hanya untuk membeli kebutuhan lain seperti TV, sepeda motor, kulkas, dan lainnya. Petani harus giat dalam berwirausaha sehingga petani mendapat nilai tambah dari komoditas yang dipanen.
2.      Mendorong Peran Lembaga Keuangan (Bank Dan Non-bank) Untuk Masuk Sektor Pertanian Dengan Skema yang Menguntungkan Petani
Lembaga keuangan baik bank maupun non-bank sebaiknya tidak mempersulit dalam peminjaman kredit hanya karena menganggap sektor pertanian belum berorientasi skala industri, resiko gagalnya panen, dan biaya produksi semakin meningkat. Pihak perbankan bisa memberikan pinjaman kredit kepada petani dengan syarat sesuai kemampuan petani.
Petani mengharapkan kredit dengan waktu pengembalian sesuai dengan waktu petani panen, sehingga saat jatuh tempo petani memiliki uang untuk membayar modal yang telah dipinjamnya. Banyak petani yang memiliki lahan belum bersertifikat dan banyak ditemukan petani tidak memiliki lahan hanya berstatus penggarap sehingga petani tidak menyukai kredit dengan agunan berupa sertifikat tanah. Untuk mengatasi hal tersebut, kredit-kredit program baru seperti KKP telah memperlonggar dengan syarat agunan sertifikat pengurus kelompok tani, petani anggota cukup fotocopy KTP dan kepastian menggarap lahan.
Perbankan sebaiknya tidak memberikan bunga terlalu tinggi, karena petani menginginkan bunga sekitar 12%-18% per tahun. Dalam melaksanakan pinjaman, persyaratan yang diberikan juga tidak perlu terlalu rumit karena petani kadang tidak mengerti mengenai form aplikasi, pembukaan rekening, surat bukti agunan, dan lainnya. Selain itu dalam menyalurkan kredit perbankan tidak perlu melibatkan banyak pihak.
3.      Mendorong Penguatan Modal Kolektif Petani
Upaya menaikkan daya tawar petani produsen harus dilakukan dengan konsolidasi petani produsen dalam satu wadah yang menyatukan gerak ekonomi dalam setiap rantai pertanian, dari pra produksi sampai pemasaran. Konsolidasi tersebut dilakukan dengan mengkolektifkan semua proses dalam rantai pertanian, yaitu meliputi kolektifikasi modal, kolektifikasi produksi, dan kolektifikasi pemasaran. Kolektifikasi modal adalah upaya membangun modal secara kolektif dan swadaya, dengan gerakan simpan-pinjam produktif, yaitu anggota kolekte menyimpan tabungan untuk dipinjam sebagai modal produksi, bukan kebutuhan konsumsi. Hal ini dilakukan agar pemenuhan modal kerja pada awal masa tanam dapat dipenuhi sendiri, dan mengurangi ketergantungan kredit dan jeratan hutang tengkulak. Apabila kolektifikasi modal dapat berkembang baik, maka tidak menutup kemungkinan modal kolektif tersebut tidak hanya digunakan dalam pemenuhan modal kerja produksi, tetapi juga dalam pemasaran.
4.      Mendorong Peran Tengkulak Untuk Membangun Kemitraan Yang Adil dan Peduli Petani
Tengkulak sebaiknya tidak memanfaatkan modal yang dipinjamkan pada petani dengan memberikan harga beli yang terlalu rendah dan juga tidak boleh curang dalam hal timbangan pada hasil panen. Tengkulak harus membangun hubungan yang adil sehingga posisi tawar petani tidak terlalu rendah. Dalam meminjamkan modal, tengkulak sebaiknya tidak memberikan bunga yang terlalu tinggi serta tempo dalam pembayarannya jatuh pada saat petani telah panen.
5.      Merealisasikan Subsidi Pertanian yang Tepat Sasaran dan Bersifat Produktif
Subsidi pertanian sebaiknya digunakan dengan sebaik-baiknya mengingat subsidi yang diberikan tidak terlalu banyak. Subsidi disalurkan kepada petani kecil yang benar-benar membutuhkan. Subsidi yang didapat harus dimanfaatkan dengan baik sehingga bersifat produktif. Misalnya dengan LKMA (Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis) atau yang disebut dengan bank petani dimana petani lebih mudah dalam peminjaman tanpa administrasi yang begitu rumit. Pendirian LKMA diperoleh dari penjualan lembaran saham dan petani dapat membeli lembaran saham tersebut.




















DAFTAR PUSTAKA
Dymasnugraha, 2012. Bank Petani dari Nagari Tabek Panjang. (Online). http://dimasnugraha.wordpress.com/2012/07/17/bank-petani-dari-nagari-tabek-panjang/ (Diakses pada 1 Maret 2014)
Fitrya. 2012. Akses Kredit Petani Masih Terkendala Persyaratan Perbankan dalam Ipotnews. (Online).https://www.ipotnews.com/index.php?jdl=Akses_Kredit_Petani_Masih_Terkendala_Persyaratan_Perbankan&level2=&level3=&level4=topnews&id=944001&urlImage=#.UxGfJ-OSx-c. (Diakses pada 1 Maret 2014)
Kukuh. 2012. Sistem Ijon Pola Lama dalam Perdagangan yang Masih berkembang. (Online). http://kukuhizal.blogspot.com/2012/11/sistem-ijon-pola-lama-dalam-perdagangan.html (Diakses pada 1 Maret 2014)
Nurak, Vinsensius. 2011. Meninggikan Posisi Tawar Petani. (Online) http://sutarko.blogspot.com/2011/05/vinsensius-nurak-meninggikan-posisi.html. (Diakses pada 1 Maret 2014)
Supriatna, Adea. 2006. Aksebilitas Petani Kecil pada Sumber Kredit Pertanian di Tingkat Desa: Studi Kasus Petani Padi di Nusa Tenggara Barat. Bogor: Balai Besar Pengkajian dan PengembanganTeknologi Pertanian
Supriatna, Adeb. 2013. Merancang Karakteristik Kredit Sesuai Permintaan Petani. Tabloid Sinar Tani, 15 Januari 2013.
Tribun. 2013. Bunga KUR Dipangkas Petani Tetap Sulit Akses. (Online). http://www.tribunnews.com/regional/2013/02/11/bunga-kur-dipangkas-petani-tetap-sulit-akses. (Diakses pada 1 Maret 2014)

Comments

Popular posts from this blog

MAKALAH : Hubungan Penguasaan Kosa Kata Terhadap Kemampuan Berbicara

MAKALAH : Hubungan kecepatan membaca dengan kemampuan memahami isi wawancara narasi